Puisi Seorang Mujahidin

Sabtu, 12 Januari 2013

Demokrasi Dalam Tinjauan Islam

democrazy call for kafirs

Sesungguhnya perbedaan Islam dengan demokrasi adalah perbedaan yang sangat prinsip. Demokrasi adalah sebuah dien, sebagaimana Yahudi, Nasrani, Komunisme, Hindu, Budha dan lainnya. Kesyirikan dan kekufuran demokrasi nampak jelas bila ditimbang dengan timbangan Islam.  

1- Demokrasi tertolak sejak dari sumbernya.

Konsep demokrasi muncul dari masyarakat Yunani Kuno, yaitu ketika filosof Pericles mencetuskan konsep ini pada tahun 431 SM. Beberapa filosof lain seperti Plato, Aristoteles, Polybius dan Cicero ikut menyempurnakan konsep ini. Meski demikian selama ratusan tahun konsep ini tidak laku. Demokrasi baru diterima dunia Barat 17 abad kemudian, yaitu pada masa Renaisance dipelopori oleh filosof Machiaveli (1467-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), Jhon Locke (1632-1704), Montesquie (1689-17550 dan Jean Jackues Rousseau (1712-1778) sebagai reaksi atas keotoriteran monarki dan gereja.[1]

Sumber demokrasi jelas para filosof bangsa penyembah berhala yang tidak mengenal Allah dan Rasulullah. Konsep ini baru diterima manusia 1700 tahun semenjak kelahirannya, juga melalui para filosof Nasrani Eropa. Dari sini jelas, Islam menolak demokrasi karena konsep ini lahir semata-mata dari akal orang-orang kafir, sama sekali tidak berlandaskan wahyu dari Allah Ta’ala.

Islam adalah satu-satunya dienul haq. Keberadaannya telah menasakh (menghapus) syariat yang dibawa oleh para nabi terdahulu. Dengan demikian, setiap manusia wajib memeluk Islam dan mengikuti syariat Rasulullah.

Suatu hari Rasulullah marah besar karena melihat Umar masih membawa-bawa dan mempelajari Taurat :

وَالَّذِِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ لَا يَهُوْدِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّتِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ

“Demi Dzat yang nyawa Muhammad berada di tangan-Nya. Tak seorangpun dari umat ini yang mendengarku (dakwahku), tidak Yahudi tidak pula Nasrani, kemudian dia mati dan tidak beriman dengan risalah yang aku diutus dengannya kecuali ia menjadi penduduk neraka.”  [HR. Muslim, Silsilah Ahadist Shahihah no. 157, Shahih Jami’ Shaghir no. 7063].

(لَوْ نَزَلَ مُوْسَى فَاتَّبَعْتُمُوْهُ وَتَرَكْتُمُوْنِي لَضَلَلْتُمْ ).

“ Seandainya Musa turun dan kalian mengikutinya serta meninggalkanku pastilah kalian tersesat.” [HR. Ahmad, dihasankan syaikh Al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir no 5308 dan Irwaul Ghalil no. 1589].

Mempelajari kitab samawi wahyu Allah saja dimarahi, lantas bagaimana dengan mempelajari, menganut dan memperjuangkan system demokrasi yang murni hasil otak kaum penyembah berhala ? Jika syariah Nasrani dan Yahudi telah dinasakh dengan kehadiran Islam, bukankah ajaran jahiliyah penyembah berhala yang bernama demokrasi ini lebih dinasakh lagi ? Tak diragukan lagi, mereka yang mengikuti ajaran jahiliyah ini dengan penuh kerelaan dan kebanggaan merupakan orang yang paling dimurkai Allah Ta’ala :

أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى الله ثَلَاثَةٌ مُلْحِدٌ فِي الْحَرَمِ وَمُبْتَغٍ فِي الْإِسْلَاِم سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَمُطَلِّبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِحَقٍّ لِيُهْرِيْقَ دَمَّهُ.

“ Manusia yang paling dibenci Allah ada tiga ; Orang yang senantiasa berusaha berbuat haram, orang yang mencari sunah (jalan/sistem) dalam Islam dan orang yang menuntut darah orang lain tanpa alasan yang benar demi menumpahkan darahnya. » [HR. Bukhari dalam At Tarikh dan Al Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no. 778].

لَيْسَ مِنَّا مَنْ عَمِلَ بِسُنَّةِ غَيْرِنَا

“ Bukan termasuk golongan kami orang yang beramal dengan sunah (jalan) selain kami.”[HR. Ad Dailami dan Ath Thabrani. Dihasankan syaikh Al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir no. 5439 dan Silsilah Ahadits Shahihah no. 2194].

2. Menerima demokrasi berarti mendustakan Al Qur’an, As Sunah dan ijma’ kaum muslimin yang tegas menyatakan kesempurnaan Islam.

Al Qur’an secara tegas telah menyatakan Islamlah satu-satunya dienul haq yang diridhoi Allah Ta’ala (QS. Ali Imran :19,83,85, Al Maidah:3), Al Qur’an telah memuat dan menjelaskan segala hal yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat mereka (QS. An Nahl :89) dan Al Qur’an sama sekali tidak memuat kebatilan (QS. Al Fushilat :42). Shahabat Ibnu Abbas berkata saat menafsirkan QS. Al Maidah ayat 3,” Itulah Islam.Allah mengkabarkan kepada nabi-Nya dan kaum mukmin bahwa Ia telah menyempurnakan syariat iman maka mereka tidak membutuhkan lagi tambahan untuk selama-lamanya. Allah telah menyempurnakannya maka Allah tidak akan menguranginya selama-lamanya. Allah telah meridhainya maka Allah tidak akan membencinya selama-lamanya.”[2]

Rasulullah juga telah menerangkan segala kebajikan dan keburukan secara detail. Beliau telah memberi petunjuk dan tauladan di segala bidang kehidupan, sejak dari bangun tidur hingga tidur kembali, sejak dari urusan negara yang rumit hingga urusan WC yang kelihatannya remeh.

عن أبي ذر ( تَرَكَنَا رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم وَمَا مِنْ َطائِرٍ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ إِلَّا وَهُوَ يَذْكُرُنَا مِنْهُ عِلْمًا. فَقَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم : مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ إِلَى الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ عَنِ النَّارِ إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ).

Abu Dzar berkata,” Rasulullah meninggalkan kami dan tak ada seekor burung yang menggepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau menyebutkan ilmunya kepada kami. Beliau bersabda,” Tak tersisa suatu perkara pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah diterangkan kepada kalian.” [HR. Ath Thabrani, Al Bazzar dan Ahmad. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no. 1803].

(قَدْ َتَركْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا سَوَاءٌ لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا إِلَّا هَالِكٌ)

“ Aku telah meninggalkan kalian diatas jalan yang terang. Malamnya sama dengan siangnya. Tak ada seorangpun yang menyeleweng dari jalanku kecuali ia akan binasa (tersesat).” [HR. Ibnu Majah. Dishahihkan syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah no. 41, Silsilah Ahadits Shahihah no. 937, Shahih At targhib wa Tarhib no.58].

Alangkah memilukannya jika sebagian ulama dan aktivitas Islam mempelopori umat Islam untuk memperjuangkan Islam dengan demokrasi. Sungguh, ini pertanda goyahnya keimanan kepada Al Qur’an dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam. Sungguh, ini tuduhan tersembunyi bahwa Allah dan Rasulullah tidak memberi petunjuk tentang masalah system kenegaraan dan politik. Amat memilukan, berjuang demi Islam namun meragukan kesempurnaan Islam yang diperjuangkannya. Imam Abu Hibatullah Ismail bin Ibrahim Al Khathib Al Azhari berkata :

“ Siapa mengira bahwa syariat yang sempurna ini ---di mana tidak pernah ada di dunia ini syariat yang lebih sempurna darinya --- kurang (tidak) sempurna, memerlukan system lain dari luar yang melengkapinya, maka ia seperti orang yang mengira bahwa umat manusia memerlukan rasul selain rasul mereka (Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Salam) yang menghalalkan untuk mereka apa yang baik-baik dan mengharamkan atas mereka hal-hal yang keji.”[3]

3. Demokrasi membatalkan Tauhid.

Tauhid Rububiyyah : Dalam demokrasi, kekuasaan tertinggi mutlak berada di tangan rakyat melalui wakilnya (MPR/parlemen). Halal adalah apa yang dihalalkan wakil rakyat, haram adalah apa yang diharamkan oleh wakil rakyat. Rakyat melalui wakilnya menjadi rabb yang ditaati selain Allah dari sisi tasyri, tahlil dan tahrim. Wakil rakyat menetapkan undang-undang yang mengatur kehidupan manusia dan mempunyai kekuatan mengikat. Siapa melanggar akan dihukum. Ini jelas kesyirikan dan merampas hak rububiyah Allah Ta’ala. (QS. Yusuf :40, Al Kahfi :26, Asy Syura :10,21, Al An’am :118, Al Maidah :59, AT Taubah:31). Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :

“ Siapa meminta untuk ditaati bersama Allah maka berarti ia telah menginginkan manusia mengangkatnya menjadi tandingan selain Allah yang dicintai sebagaimana mereka mencintai Allah, padahal Allah telah memerintahkan untuk tidak beribadah kecuali kepada-Nya dan dien hanyalah hak Allah semata.” [4]

Tauhid Asma’ wa Sifat. Di antara nama Allah Ta’ala yang husna (indah) adalah Al hakam (Yang Maha Memutuskan dengan keadilan). Allah Ta’ala adalah hakim yang paling berkuasa dan paling adil (Qs. Al A’raaf: 87, At Tiin:8). Mengimani nama Allah yang agung ini menuntut setiap muslim untuk mentauhidkan Allah dalam hal tasyri’, tahlil dan tahrim serta berhukum dengan syariat Islam semata. Demokrasi menghancurkan kaedah tauhid asma’ wa sifat ini :

Wakil rakyat mempunyai kemerdekaan penuh untuk menetapkan hukum tanpa berdasar kepada Al Qur’an dan As Sunah. Ia bebas mengharamkan hal yang dihalalkan ijma’ dan menghalalkan hal yang keharamannya telah ditetapkan ijma’. Halal dan haram, wajib dan dilarang berada ditangan wakil rakyat. Dengan demikian, wakil rakyat bebas mau menjalankan atau menolak syariat Allah. Nasib hukum Allah berada ditangan para wakil rakyat dan menjadi bahan permainan dan ejekan mereka. Dengan demikian, wakil rakyat adalah raja di atas raja, penguasa di atas penguasa.

إِنَّ أَخْنَعَ اسْمٍ عِنْدَ الله رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الْأَمْلَاكِ لَا مَالِكَ إِلَّا الله

“ Sesunggguhnya nama yang paling dibenci Allah adalah seorang laki-laki yang menamakan dirinya raja di atas raja. Tidak ada raja kecuali Allah.” [HR. Bukhari no. 6206 dan Muslim no. 2143].

Tauhid Uluhiyah : Tauhid uluhiyah menuntut setiap individu untuk mentaati hukum Allah dan mengikuti manhaj-Nya. Demokrasi menghalangi manusia untuk mentaati hukum Allah dan memaksa manusia untuk mentaati segala aturan wakil rakyat dalam masalah tahlil dan tahrim. Manusia diperbudak untuk beribadah kepada rabb-rabb baru bernama wakil rakyat, sebagaimana ketaatan orang Yahudi dan Nasrani kepada aturan para pendeta mereka. Manusia digiring untuk berbuat syirik dalam masalah hukum. Dalam hal ini, syaikh Syanqithi berkata :

“ Berbuat syirik kepada Allah dalam masalah hukum dan berbuat syirik dalam masalah beribadah itu maknanya sama, sama sekali tidak ada perbedaan di antara keduanya. Orang yang mengikuti perundang-undangan selain hukum Allah dan tasyri’ selain tasyri’ Allah adalah seperti orang yang menyembah dan sujud kepada berhala. Antara keduanya tidak ada persebdaan sama sekali dari satu sisi sekalipun. Keduanya satu (sama saja) dan keduanya musyrik kepada Allah.”[5]

Borok-borok demokrasi lainnya masih banyak, seperti ; kaburnya aqidah wala’ dan bara’, ta’thil (menihilkan) hukum-hukum jihad dan hukum atas ahli dzimah, meninggalkan manhaj nabawi dalam asalibu taghyir (metode merubah kondisi) dan banyak lainnya. Yang jelas, demokrasi adalah sebuah dien ; rabbnya adalah rakyat (MPR/parlemen), kitab sucinya adalah teori kontrak sosial dan trias politika, sementara nabinya adalah Pericles, Montesquie dan Jean Jackues Roeuseu. Mustahil Islam bertemu dengan demokrasi.

Demokrasi jelas-jelas merupakan sebuah system yang bertentangan dengan Islam. Karena itu, para ulama sepakat menyatakannya sebagai sebuah dien kafir yang bertolak belakang dengan Islam. Dalam hal ini, para ulama telah nmengarang banyak buku, seperti : Syaikh Abdul Ghani bin Muhammad bin Ibrahim Ar Rahhal dalam bukunya Al Islamiyyun wa Sarabu Dimuqrathiyah ( Muassasatul Mu’taman, 1409 H ). Syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah dalam beberapa bukunya antara lain Hukmul Islami Fil Dimuqrathiyati wa At Ta’adudiyyati Al Hizbiyyati (Al Markazu Ad Dauli Lid Dirasat Al Islamiyyah, 1420 H), Dr. Sholah Showi dalam beberapa bukunya antara lain Ats Tsawabit wal Mutaghayirat fi Masiratil ‘Amal Al Islamy Al Muashir ( Al Muntada Al Islamy, 1414 H ), Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisi dalam beberapa bukunya seperti Ad Dimuqrathiyatu Dienun, Syaikh Sa’id Abdul Adzim dalam bukunya Ad Dimuqrathiyatu fil Mizan ( Daarul Furqan), Syaikh Muhammad Syarif Syakir dalam bukunya Haqiqatu Ad Dimuqrathiyah (Daarul Wathan, 1412 H) dan banyak ulama lainnya.


[1] - Majalah Hidayatullah, edisi 03/XII/Juli 1999, hal. 52-5

[2] - Jamiul Bayan 6/79 dan Ad Durul Mantsur 3/17

[3] - [Nawaqidhul Iman Al Qauliyah wal ‘Amaliyah hal. 318].

[4] - [Majmu’ Fatawa 14/329].

[5] - [Adhwaul Bayan 7/162]. Tentang demokrasi membatalkan ketiga bentuk tauhid ini, silahkan lihat Al Islamiyyun wa Saraabu Ad Dimuqrathiyah, hal. 277-309, Hukmul Islam fi Ad Dimuqrathiyah wa At Ta’adudiyah Al Hizbiyah hal. 26-60, Ats Tsawabit wal Mutaghayirat fi Masiratil ‘Amal Al Islamy Al Muashir hal 249-250, Ad Dimuqrathiyatu Dienun 8-11 dll.

Tidak ada komentar: