Puisi Seorang Mujahidin

Senin, 29 Februari 2016

Wajibnya Hijrah ke Negeri Islam

Pengumuman Wajibnya Hijrah ke Negeri Islam
_______________________

Oleh: Syaikh Al-Fadhil Muhammad bin Umar Abiy ‘Ashim Al-Lubnaniy Tsabatahullahu

Segala puji milik Allah, semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam, keluarganya, sahabatnya, dan siapa saja yang mengikutinya dengan baik, amma ba’du :

Definisi Negeri Islam dan Negeri Kafir

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah telah berkata : “Jumhur Ulama berpendapat : “Negeri Islam adalah negeri yang dikuasai kaum Muslimin dan diberlakukan di dalamnya hukum-hukum Islam. Dan ketika tidak diberlakukan di dalamnya hukum-hukum Islam, maka tidak disebut negeri Islam. Dahulu at-Thoif posisi wilayahnya sangat dekat dengan Makkah, namun tidak termasuk wilayah negeri Islam dengan peristiwa Fathu Makkah, demikian pula sebaliknya.” Selesai. (Al-Ahkam Ahluz-dzimmah, I/266. Karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Abiy Bakar bin Qayyim Al-Jauziyyah).

Imam Ibnu Hazm rahimahullah telah berkata : “Apabila ahlu dzimmah tinggal di kota-kota mereka, namun mereka tidak sampai menjadi penduduk mayoritas terhadap selain mereka, maka tidak bisa disematkan atau divonis orang Kafir, bagi orang yang tinggal satu wilayah bersama mereka dalam rangka mengatur mereka atau dalam rangka berdagang dengan mereka, dan hal itu bukan suatu kesalahan, bahkan dia adalah Muslim yang baik. Dan negeri mereka disebut negeri Islam, bukan negeri syirik –atau negeri Kafir– Karena negeri tersebut ditetapkan –pengaturannya– oleh kekuatan yang mendominasi dengan keberadaan hakim dan penguasa islam yang menjangkau di dalamnya.” selesai.

Masih menurut penuturan Imam Ibnu Hazm : “Dan negeri mereka –yaitu negerinya ahlu dzimmah yang Kafir, yang diambil dari mereka jizyah dan mereka hidup dalam keadaan tunduk kepada hukum-hukum Islam–, maka negeri mereka disebut juga negeri Islam, bukan negeri syirik –atau negeri Kafir–. Karena negeri itu ditetapkan –pengaturannya– oleh kekuatan yang mendominasi dengan keberadaan hakim dan penguasa Islam yang menjangkau di dalamnya.” selesai. (Al-Muhalla, hal. 13–14, karya Imam Abu Muhammad ‘Aliy bin Ahmad bin Hazm Adz-dzhohiriy).

Syaikh Sulaiman bin As-Sahman rahimahullah berkata : “Adapun definisi negeri-negeri Kafir telah disebutkan oleh madzhab Hanbali dan selain mereka, bahwa suatu negeri yang diberlakukan di dalamnya hukum-hukum Kafir, dan tidak nampak di dalamnya hukum-hukum Islam, maka negeri itu disebut negeri Kafir.”

Imam Ibnu Muflih rahimahullah berkata : “Setiap negeri yang di dalamnya didominasi oleh hukum-hukum kaum Muslimin, maka negeri seperti ini disebut negeri Islam. Dan bila yang mendominasi di dalamnya hukum-hukum Kafir, maka disebut negeri Kafir, dan tidak ada negeri selain keduanya.”

Imam Abu Ya’la rahimahullah berkata : “Setiap negeri yang mendominasi di dalamnya adalah hukum-hukum Islam bukan hukum-hukum Kafir, maka negeri itu disebut negeri Islam. Dan setiap negeri yang mendominasi di dalamnya adalah hukum-hukum Kafir bukan hukum-hukum Islam, maka negeri itu disebut negeri Kafir.” (Al-Mu’tamad fie ushulid dien, hal. 276. Karya Imama Al-Qadhiy Abu Ya’la Al-Hanbaliy).

Imam Al-Bahuty rahimahullah berkata : “Negeri Kafir adalah negeri yang berkuasa di dalamnya hukum Kafir.” (Kasyful Kina Ala Matan Al-Iqtina’, hal. 3/43. karya Al-Allamah Manshur bin Idris Al-Bahutiy).

Imam Malik rahimahullah berkata : “Dahulu negeri Makkah merupakan negeri harbiy –negeri yang memerangi–, karena hukum-hukum jahiliyyah berjalan secara dzhohir ketika itu disana”. (Al-Mudawanah Al-Kubro, hal. 3/23. karya Imam Malik bin Anas.)

Imam Ibnu Rajab Al-Haitsamiy rahimahullah berkata : “Maka suatu negeri yang mana dominasi di dalamnya hukum Kafir, maka negeri itu menjadi negeri kafir walaupun mayoritas penduduknya adalah kaum Muslimin. Demikian pula suatu negeri yang mana dominasi di dalamnya hukum Islam, maka negeri itu menjadi negeri Islam walaupun mayoritas penduduknya adalah orang-orang Kafir.” (At-Tuhfah Ala Hawasyi Asyamrawaniy wa Ibnu Al-Qasim, 9/269. karya Imama Ibnu Rojab Al-Haitsamiy).

Pada asalnya keadaan negeri-negeri –dimanapun– tidaklah sama atau tetap, akan tetapi akan berubah dengan berubahnya hukum-hukum yang melingkupinya. Contoh dari hal itu adalah dahulu Iraq dan Syam adalah negeri Islam ketika di bawah kekuasaan Khilafah Islamiyyah. Kemudian beralih menjadi negeri Kafir ketika berubah dikuasai para penguasa murtaddin yang mengganti syariat Allah ta’ala dan memberlakukan hukum dengan undang-undang buatan manusia. Kemudian negeri itu –Iraq dan Syam– kini beralih menjadi negeri Islam dengan meluasnya kekuasaan Khilafah Daulah Islamiyyah/Islamic State (IS) yang baru di bawah Khalifatul Muslimin, Ibrahim bin Awwad atau Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi hafizhahullah.

Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Al-Fatawa : “Keadaan negeri-negeri, dimisalkan keadaannya seperti keadaan hamba, maka seorang laki-laki kadang keadaannya menjadi seorang Muslim, kadang menjadi Kafir, kadang menjadi mukmin, kadang menjadi munafiq, kadang menjadi orang yang baik lagi bertaqwa, kadang menjadi orang fasiq dan kadang ia menjadi orang fajir lagi rusak. Demikianlah berlaku pula dengan tempat tinggal yang akan sesuai dengan keadaannya. Maka berhijrahnya seseorang dari tempat kekafiran dan maksiat ke tempat keimanan dan ketaatan hukumnya seperti taubatnya dan larinya dia dari kekafiran dan maksiat kepada keimanan dan ketaatan. Dan ini adalah perkara yang terus-menerus hingga hari kiamat”.

Hukum Hijrah ke Negeri Islam

Dalam permasalahan ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, ada sebagian ulama yang berpendapat –hijrah– hukumnya tidak wajib, mereka kebanyakan ulama-ulama mazdhab Hanafi. Dan mereka mengatakan bahwa hukum hijrah telah dinasakh atau dibatalkan, dan mereka berdalil dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits.

Adapun jumhur ulama, atau mayoritas ulama berpendapat bahwa hijrah adalah wajib, seraya mereka membantah pendapat yang pertama. Dan ulama yang mewajibkan hijrah hampir tidak terhitung jumlahnya, diantaranya : Al-Khithobiy, At-Taiyyibiy, An-Nawawiy, Al-Hafidz Ibnu Hajar, Ibnu Qudamah, Ibnu Arabiy, Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim, Asy-Syaukaniy dan selain mereka. Mereka menukilkan –pendapat-pendapat– dan menguatkannya. Demikian pula para imam-imam dakwah salafiyah yang diawali oleh Al-Mujadid Muhammad bin Abdul wahhab hingga imam yang terakhir Al-Allamah Muhammad bin Ibrohim. (Lihat Ad-Durar At-Tsaniyyah, dalam kitab jihad, tingkatan ke-2 tarikh 1385 Hijriyyah.)

Diantara ulama yang membantah pendapat orang menyatakan bahwa hijrah tidak wajib : Imam Ibnu Arabiy berkata dalam “Ahkamul Qur’an” : “Hijrah itu adalah keluar dari negeri yang memerangi ke negeri Islam, dan itu di diwajibkan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan terus berlangsung setelahnya bagi siapa yang mengkhawatirkan dirinya, dan orang yang terputus dengan komunitas asalnya –yang Muslim–, yang ia merupakan tujuan untuk sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ketika beliau bersabda : “Akan tetapi yang ada adalah jihad dan niat”.

At-Tayyibiy dan selainnya berkata : “Ini adalah dalil yang menyendiri yang konsekwensinya menyelisihi hukum apa yang setelahnya, dibanding sebelumnya, yang maknanya bahwa hijrah itu ialah yang membedakan negeri yang pernah menjadi tuntutan bagi –Rasulullah dan para sahabat– wajib berhijrah ke dalamnya, yaitu ke Madinah telah terputus. Kecuali membedakan dengan sebab jihad yang tidak terputus –sampai hari kiamat– demikian pula dengan pembedaan karena sebab niat yang lurus, seperti lari dari negeri kafir, dan keluar untuk tujuan tholabul ilmi dan keluar dari fitnah, dan niat dalam semua itu dianggap”.

Imam An-Nawawiy rahimahullah berkata : “Maknanya bahwa perubahan –negeri– itu terjadi dengan terputusnya hijrah, bisa jadi karena keperluan jihad dan niat yang lurus”.

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab “Al-Mughniy” membantah terjadinya nasakh dalam hijrah ini, dengan mengatakan : “Kami memiliki riwayat dari Muawiyyah radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Hijrah tidak akan terputus hingga terputus pintu taubat, dan pintu taub
at tidak akan terputus hingga matahari terbit dari tempat tenggelamnya.” (Riwayat Abu Dawud).

Diriwayatkan hadits dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda : “Hijrah tidak akan terputus selama masih ada jihad –sedangkan jihad tetap ada sampai hari kiamat, (pent).– ” (Riwayat Said dan selainnya).

Maka secara mutlaq ayat-ayat dan khobar dari Rasulullah menunjukkan kewajiban berhijrah, dan konsekwensi maknanya akan menuntut terjadi di setiap zaman. Adapun hadits-hadits ang disebut diawal –yang digunakan untuk membantah wajibnya hijrah–, maka maksudnya adalah tidak ada hijrah setelah fathu –kemenangan– dari negeri yang telah difutuhkan dan dikuasai islam. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada sahabat Shofwan radiyallahu anhu : “Sesungguhnya hijrah telah terputus”. Yaitu dari Makkah, karena yang dimaksud hijrah itu adalah keluar dari negeri Kafir. Karena itu bila telah menang maka tidak tersisa lagi negeri kafir, maka tidak ada lagi hijrah darinya –karena telah menjadi negeri islam–. Demikianlah setiap negeri yang telah difutuhkan kaum muslimin, maka tidak tersisa lagi hijrah darinya, yang ada adalah hijrah ke dalam negeri yang telah difutuhkan itu”, selesai.

Hukum Orang Yang Tidak Berhijrah Dari Negeri Kafir ke Negeri Islam

Sejatinya hijrah ke negeri Islam adalah suatu kewajiban, dan ini adalah prndapat jumhur ulama sebagaimana telah kita bahas di atas. Dan barang siapaberhijrah yang memiliki kemampuan untuk berhijrahyang, kemudian ia tidak melakukannya maka tempat tinggalnya adalah neraka jahannam.

Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala : “Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzholimi diri sendiri, mereka (para malaikat) bertanya, “Bagaimana kamu ini? Mereka menjawab, “Kami orang-orang yang tertindas di bumi (Makkah).” Mereka (para malaikat) bertanya, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah) di bumi itu?” Maka orang-orang itu tempatnya di neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembal”. (QS. An-Nisa’ 4 : 97)

Ayat ini menjadi peringatan yang sangat keras, dan tidaklah orang yang terkena peringatan ini kecuali terjatuh ke dalam keharaman yang besar.

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari orang tersebut, dan telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam : “Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal diantara komunitas orang-orang musyrik, yang tidak terlihat –perbedaan– perapian keduanya.” (Riwayat Tirmidziy, 4/155. dari hadits Jarir bin Abdillah dengan sanad yang shahih)

Dan orang yang tidak berhijrah, berarti ia meninggalkan satu perintah diantara perintah-perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang juga termasuk bermaksiat kepada Allah Azza wa jalla. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Hijrah itu tidak akan terputus selama musuh masih senantiasa memerangi.” (Diriwayatkan oleh Imama Ahmad, 1/192. Dari hadits Abdullah bin As-Sadiy, dan Al-Haitsamiy berkata : “Rijaluhu Tsiqoh”).

Penutup

Ingatlah dan waspadalah!! Wahai hamba Allah dari tertinggal berhijrah ke negeri Islam. Karena hari ini tidak ditemukan sama sekali pelaksanaan kepemimpinan negeri Islam kecuali di wilayah-wilayah yang dikuasai sepenuhnya oleh Daulah Islamiyyah, yaitu negeri Khilafah yang Allah telah muliakan dan wujudkan.

Dan ketahuillah bahwa setiap negeri di jagat raya ini yang memberlakukan di dalamnya hukum-hukum buatan manusia merupakan ajaran para arbab (Tuhan-Tuhan) yang mensyariatkan kepada manusia dari dien yang tidak mendapat izin dari Allah ta’ala.

Maka demi Allah, Maka demi Allah, marilah berhijrah ke negeri islam dan bergabung dalam pengaturan Khilafah Islamiyyah, dan membaiat Khalifatul Muslimin Ibrahim bin Awwad hafidzahullah. 
Walhamdulillah..

[Dialihbahasakan oleh Abu Yusuf Al-Indunisiy, 4 Shofar 1437 H/November 2015 M di LP. Permisan, Nusakambangan, Cilacap]

🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹

Tidak ada komentar: